Senin, Januari 26, 2009

MENGEJAR KETERTINGGALAN

Oleh Lily yulianti Farid

Industri mode Jepang telah lama terjepit di antara kepopuleran rancangan rumah mode Barat dan banjirnya produk murah dari negara Asia. Jadi, meskipun perancang mode Jepang mendapat tempat di dalam negeri, tetapi obsesi menembus pasar luar negeri tetap menjadi cita-cita yang sulit diwujudkan banyak perancang di sana.

Perancang senior yang berjaya di panggung internasional seperti Issey Miyake dan Yohji Yamamoto adalah keberhasilan langka yang sulit diikuti perancang Jepang generasi berikutnya.

Untuk mewujudkan obsesi menembus pasar dunia sekaligus menjadikan Tokyo titik penting industri mode internasional, Japan Fashion Week (JFW) yang digelar 31 Oktober-9 November lalu di Meiji Memorial Picture Gallery di Aoyama, dirancang menjadi motor penggerak industri mode Jepang.

Trotoar di sepanjang Aoyama dan Omotesando yang menjadi lokasi butik ternama seperti Christian Dior, Gucci, dan Prada dipenuhi spanduk JFW. Selama 10 hari, 53 perancang menggelar karya mereka, 35 perancang muda membuat pameran hasil kolaborasi dengan perusahaan tekstil, berlangsung simposium industri mode, kampanye J Groove untuk meningkatkan kecintaan pada produk dalam negeri, hingga seminar tren warna Asia.

JFW bertujuan membangun sinergi semua sektor terkait, dari industri tekstil di hulu hingga desainer di hilir. Dunia mode Jepang sebenarnya amat dinamis berkat karakter masyarakat kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Kyoto, yang sangat sadar mode, tetapi selama ini setiap sektor bekerja sendiri dan kolaborasi sebelumnya tidak terpikirkan.

Gentaro Noda, desainer pakaian pria ”Iliad” menuturkan, sejak tahun 2004 ia mempersiapkan promosi langsung karyanya di Paris atau Milan. ”Tetapi, ketika panitia menghubungi untuk ikut JFW dan menjamin akan hadir pembeli potensial dari luar, saya all out dengan koleksi musim gugur. Hasilnya di luar dugaan, saya mendapat enam pembeli dari London, Hongkong, dan Paris. Sekarang saya berkonsentrasi untuk JFW musim semi tahun depan,” tutur Noda, lulusan St Martin’s Fashion School, London.

Didukung pemerintah

JFW merupakan proyek yang didukung penuh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang. Kolaborasi antara perancang dan produsen tekstil ada yang berbulan-bulan karena perancang dilibatkan sejak awal produksi di pabrik tekstil.

Karakter desain paling menonjol dalam JFW ini antara lain keahlian memadu-padan bahan berpola cetak unik dengan teknik jahit yang rumit. Dalam beberapa rancangan, warna khas Asia seperti merah dan hijau terang muncul dalam wujud inspirasi beragam, seperti karya Toru Kato dan Misako Hayashi yang berlabel ”Zin Kato/Cup”.

Menurut pengamat mode Jepang, Martin Webb, perancang Jepang banyak yang mengenyam pendidikan mode Eropa. Pengetahuan desain asli Jepang yang dipadukan dengan teknik mode Barat menjadi modal luar biasa. Hanya saja, mereka kurang promosi.

”Kita melihat munculnya perancang sekaliber Issey Miyake, tetapi keberhasilan semacam tidak diciptakan melalui strategi dari dalam. JFW adalah awal bagus untuk memulai sinergi antara desainer dan industri tekstil. Sayangnya, mengapa sinergi semacam ini baru terjadi setelah 20 tahun industri ini stagnan?”

Barangkali kalimat bijak lebih baik terlambat daripada tidak bertindak sama sekali merupakan gambaran tepat JFW. Seperti dikatakan Ketua Dewan Strategi Fashion Jepang, Akira Baba, JFW adalah titik tolak mewujudkan Tokyo menjadi kiblat mode dunia.

*Lily Yulianti Farid Penulis tinggal di Tokyo, bekerja untuk NHK World.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar