Oleh Rini Kustiasih
Bagi sejumlah desainer dan anak-anak kreatif di Kota Bandung, tahun 2009 adalah saatnya menguatkan karakter karya dan mengesampingkan perubahan tren. Mereka melihat tren mode sebagai "pakem" yang justru membatasi dunia imaji mereka. Padahal, menciptakan tren mode sendiri dan melawan tren pada umumnya adalah wujud kepercayaan diri dan kemandirian berekspresi.
Sangat boleh jadi tahun 2009 menjadi tahun tanpa "tren". Apa yang disebut tren sebenarnya adalah perkiraan mode pakaian yang bisa benar atau salah. Mereka yang mengikuti tren pada dasarnya adalah pengikut atau follower," kata desainer Kota Bandung, Ian Suhadi (50), saat ditemui di galeri rekannya, desainer busana muslim kenamaan Kota Bandung, Iva Lativah (50), Jumat (9/1) di bilangan Jalan Dederuk 6, Bandung.
Pada 2009, Ian menyatakan akan konsisten dengan karakter karya yang selama ini dibangunnya, yakni kesederhanaan. "Saya cenderung bekerja dengan imaji sendiri dan ide-ide yang mengumpul di kepala, tanpa perlu meributkan apakah desain itu sesuai dengan tren atau tidak. Saya menawarkan karya dan orang lain yang memutuskan untuk membeli atau tidak," ujarnya.
Setelan rancangan sendiri yang dikenakan Ian, Jumat pagi itu, setidaknya menunjukkan komitmennya. Meski sederhana, kemeja putih polos berlengan pendek dengan lipatan kecil di kedua ujungnya, yang dipadu dengan celana panjang krem bermotif garis, tampak manis dengan sabuk dan kantong kulit menggantung di sisi kiri.
Eksplorasi batik
Eksplorasi budaya Indonesia, semisal batik, akan menjadi kekuatan desain Ian pada 2009. Batik-batik yang dipadu dengan kekuatan garis-garis geometris yang sering kali minimalis pun bisa mempercantik pakaian siap pakai (ready to wear) karyanya.
Pesona pakaian siap pakai, kata Ian, terletak pada kemudahannya untuk diakses dan dikenakan setiap orang, dari golongan kelas bawah hingga atas. Berbeda dengan karya adibusana yang lebih cocok sebagai koleksi pergelaran dan apresiasi seni kelas tinggi.
Eksplorasi batik dan kelincahan modifikasi di atas kain berkualitas tinggi juga tetap menjadi pilihan Iva. Desainer yang sudah malang melintang dalam berbagai pameran, baik di dalam maupun luar negeri, itu menjadikan batik sebagai karakter karyanya meski tren dunia bergeser.
Busana muslim sebagai salah satu khazanah mode pakaian yang memiliki "pakem" tertentu, misalnya, tidak boleh terlalu ketat sehingga menampakkan aurat.
Kehalusan bahan dan corak batik tulis kontemporer dari berbagai daerah, seperti Garut, Cirebon, dan Pekalongan, memenuhi galeri Iva. Modifikasi antara lain dilakukan dengan menyilangkan selempang batik yang menjuntai di terusan kebaya muslimah berwarna biru laut. Motif batik parang pun tampil anggun ketika disulap menjadi pakaian tradisional perempuan Jepang, kimono. Berusaha menghindari sifat tren pakaian massal, Ian dan Iva menciptakan desain dengan produksi terbatas.
Pakaian massal
Desainer Achmad Marin (33), pemilik merek Monik, pun mempertahankan desain lukisan (drawing) di atas bahan katun. Motif jahit Indian Aztec dan sablon tipis menyerupai lukisan cat air bermotif burung, misalnya, masih menjadi andalan. "Kami memiliki pasar tertentu yang amat setia. Meskipun tren mode bergeser, mereka akan tetap mengikuti karakter dan desain Monik," katanya.
Pemilik merek Unkl347, Dendy Darman, mengatakan, tren mode yang berubah tidak akan memengaruhi desainnya. "Kami justru menawarkan alternatif dari desain pakaian massal. Inspirasi pun muncul dengan sendirinya tanpa memikirkan tren," ujarnya. Untuk tahun ini, Unkl347 akan kembali pada era 1980-an, yakni dengan teknik sablon dasar yang tipis.
Merek No Label Stuff (NLS) milik W Satrio Adjie (33) berencana bekerja sama dengan sejumlah band di Kota Bandung dalam pembuatan kaus dan suvenirnya. Selama ini kreasi NLS memang lekat dengan simbol-simbol band musik Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar